REFLEKSI


Ojek dan Pelukan Ragu-Ragu
Oleh: Syah Rifqi

"Malang kotaku, malang motorku"

Sebelum motorku ayun-temayun dimatamu. Aku selalu mengumbah motor di sungai Kalimetro. Airnya yang bening dengan suara-suara gelisah yang memulur didahan telinga menjadikan tempat yang sering Aku sebut sebagai sungai ternyaman untuk membersihkan segala debu-debu dan luka.
Keadaan itu selalu Aku gandrungi, sebab Aku tak mau kalau motor terlihat kumuh di hadapanmu. Meski motorku jelek dan pasti bukan termasuk tipe-tipe motor anak muda, Aku tetap percaya diri untuk mengantarmu di sepanjang jalan kota. Karna tak ada motor paling menenangkan selain motor dari hasil keringat sendiri. Ya, keringat dari panasnya cuaca hati.
Biasanya, saban malam Aku selalu membalas pesan dari Fani, mahasiswi kesehatan yang berkacamata puisi itu. "Mujib, jemput ke kosku ya! ", "Mujib, bisa jemput aku nanti?, "Mujib, jemput dong". Pesan yang selalu menggerakkan jari-jariku untuk membalas "iya", "tunggu dulu ya, Aku masih makan" padahal jawaban-jawaban itu hanya sebagai alasan, bahwa saat itulah Aku selalu bergegas untuk mencuci muka dan memakai parfum sebanyak-banyaknya.
Selalu menjadi kabar baik bila teman-teman mahasiswa mengajak ngopi di malam hari, karena saat itulah gadis jelita itu pasti mengirim pesan kepadaku atau Aku yang menanyakan terlebih dahulu. Namun sulit sekali mencari tema pembicaraan di telepon genggam ini, bahkan sesekali takut bila hanya di read atau centang biru di Aplikasi Whatsapp.
Untungnya masih bisa mencari-cari cara bagaimana ia bisa Aku bonceng, yakni mengajak teman-teman mahasiswa untuk nimbrung di warung kopi. Cara ini selalu ampuh untuk bisa bertatap dengan perempuan yang selalu Aku curi pandangnya. Atau mengadakan rapat agar bisa bicara sok serius. Karena jarak kos Fani dengan tempat warung kopi biasanya lumayan jauh, itulah sebabnya Fani selalu meng-iya-kan untuk dijemput
"Fan, ayo ikut rapat angkatan", ajakku seperti aktivis 98
"Iya jib, ayo"
"Aku berangkat, Fani"
"Iya, siap"
Aku masih menatap pesan paling akhir dari Fani, menatap, tajam, sampai lupa kalau baterai sudah tinggal 1 %. Seketika terkejut melihat baterai yang sudah sekarat, ini Aku cas dulu atau Fani menunggu lama di depan kosnya. entah mengapa baterai juga bisa membuat Aku bingung,
Karena aku tak mau dia menunggu lama, aku bergegas menjejaki jalan-jalan kota yang harus sabar melawan kemacetan.
Sesampainya di lokasi, tak ada satupun orang yang berlalu lalang di gang V Jln. Kawi, padahal waktu masih menunjukkan pukul 19.45 WIB. Sementara handphone tidak bisa diharapkan untuk membantu menafikan kemajemukan sepi malam ini. Antara sepi dan takut semakin menjadi-jadi. Ya, takut ada satpam menuduhku sebagai pencuri karena pakaian dan motorku yang jelas membuat orang berpikir aneh-aneh.
"Fan, ayo dong cepat keluar", harapku pada angin yang berkesiur di depan kos.
***
Dan ternyata malam itu tidak berhasil menyaksikan mata bening  dan mendengarkan suara-suara lembut pada motor paling kenang ini. Rapat pun Aku batalkan, karena teman-teman sudah paham dengan maksudku. Dan kini, Aku hanya menanggung nasib sebagai ojek yang kehilangan penumpangnya. Entah Aku yang marah kepada dia atau dia yang memang marah karena sudah menunggu lama. Yang pasti Aku masih kecewa kepada dia.
Tak lama kemudian, ada pesan yang muncul di Whatsapp
"Jib, maaf ya semalam Aku ketiduran. Lagian kamu sih terlalu lama jemput Aku".
Antara bersyukur dan menyadari kesalahan. Permohonan maaf itu membuat Aku berkaca-kaca dan tersenyum sendiri di depan layar. Dan Aku sesegera mungkin membalas pesan untuk bercerita kejadian semalam. Sampai pada akhirnya ia mengasihani kejadian itu. Pada hari yang tak terduga, Fani memintaku untuk mengantarkan ke Rumah Sakit.
"Eh, Kamu sakit, Fan? Akibat semalam itu?"
"Tidak, Jib. Aku ingin menjenguk temanku di Rumah Sakit"
"Oh, iya Fan. Syukurlah bukan Kamu", ucapku sambil memberikan perhatian kecil
Tuhan memang maha asyik, Kau tahu apa yang Aku mau, Tuhan. Sesampainya di Rumah Sakit, merupa mawar-mawar kering berjatuhan pada tatapan mata. Mulut dengan sendirinya mematung. Tak ada kata selain pertanyaan-pertanyaa gelap. Laki-laki yang sering diperbincangkan oleh teman-teman dan menjadi bahan persoalan dalam diskusi di warung kopi. Agus, laki-laki yang sedang jatuh cinta juga kepada perempuan mungil itu. Sesekali Aku memandangnya dengan jelas, dan sesekali berpura-pura seolah-olah sedang tidak terjadi apa-apa.
Ruangan ini sangat panas, padahal sudah jelas AC nampak di atas kepala. Begitu juga banyak ventilasi di ruangan ini. Apalagi ditambah Fani menggenggam tangan Agus sembari mereka saling menatap mesra. Jelas, dada semakin mendidih, menguap-nguap di kepala. Dan ternyata memang benar, ini rumah membuat orang sakit saja.
Tak kuat melihat mereka sedang asyik bertatap, Aku keluar dari ruangan itu mencoba berharap bahwa yang terlihat barusan adalah khayalanku saja. Karena Aku yakin bahwa Fani pasti mengerti apa yang ada dipikiran ini. Tetapi tidak mungkin. Mata ini masih sehat untuk memandang apapun, apalagi memandang dia.
***
Hari ini menjadi gelap, tak ada suara-suara bersanding di telinga, padahal malam masih belum di jendela. Sementara dingin-gigil memelukku sekencang-kencangnya. Tetiba panas memukul-mukul ingatan. Aku lihat disekitar, dan entah mengapa Aku sudah berada di kamar.
"Gufron, mengapa Aku ada disini?", tanyaku pada teman kontrakan
"Iya, tadi kamu pingsan di Rumah Sakit, Fani mengantarmu kesini tadi"
"Hah, Fani?"
Seketika Aku terkejut dan mencium-cium tangan untuk memastikan apakah benar Fani yang mengantar ke kontrakan. Namun, masih sulit mengendus bunga-bunga yang bergeletakan di sekujur tubuh ini. Hanya bau-bau aneh yang semakin jelas dan nampak melekat di kulit dan pakaianku. Rupanya bau keringat tubuh yang habis kebakaran di Rumah Sakit itu.
Menakar ribuan pengharapan di sela-sela malam ini, mencari-cari satu keyakinan untuk menghilangkan gelisah yang masih mendidih di dada. Akankah gengaman yang Aku lihat di rumah sakit itu menjadi pertanda bahwa Fani telah berpangku pada laki-laki sial itu. Atau perhatian dia mengantarku pada peristirahatan adalah sebuah bentuk rasa kasih sayang.
"Tuhan, adakah sisa bintang yang paling gemilang untukku?" Tanyaku pada jantung malam
Esok hari Aku mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan untuk dipersembahkan padanya serta jawaban-jawaban bila ada pertanyaan darinya. Juga doa-doa penghantar rindu dibaca terlebih dahulu. Sebelum membuka handphone, Aku merapikan rambut dan baju, siapa tahu dia membuka panggilan video, dan tak lupa menggosok dahi siapa tahu beruntung.
Aku buka chat yang telah disematkan, dan ternyata ada pesan-pesan panjang menemani pagi ini. Ia bercerita perihal kejadian di Rumah Sakit kemarin. Ternyata memang benar, perempuan inilah yang mengantarkan Aku sampai kontrakan. Ia juga bercerita bahwa ia yang membayar taxi onlinenya, entah apakah Fani ingin meminta kembali uang yang telah ia bayarnya, yang pasti pagi-pagi ini Aku dibuat tertawa oleh perempuan bermata bening itu.
"Fani, terima kasih telah berbuat baik kepadaku. Mengapa kamu yang mengantarkan? Kok bukan petugas Rumah Sakit?", tanyaku di pesan Whatsapp.
"Iya sama-sama, Jib. Halah, kamu ini, kamu sengaja kan pingsan saat itu, hayo ngaku" balasnya dengan cepat.
"Sumpah, Fan, Aku tidak sadar, hmm. Oh iya. Apa Aku ganti uang yang kamu bayar kemarin, Fan?"
"Halah, Aku tau gayamu Mujib. Hehe, tidak usah Jib, itu sebagai ganti setiap aku dijemput oleh kamu", jawabnya yang menggegarkan pagi ini.
Hari ini sangat asyik bercakap-cakap dengan penumpang yang selalu memegang bahuku saat mengendarai motor. Hingga Aku menelpon dia, bertukar cerita dan saling tertawa, sambil menghamparkan harapan di pagi ini. Lagi-lagi Aku mencoba untuk mengajak dia nimbrung di warung kopi bersama teman-teman. Kebetulan hari ini kuliah libur.
Akhirnya, Aku bisa membawa dia duduk berdua kembali di motor yang tak layak melintasi kota. Sesekali Aku katakan untuk tidak memegang bahu, karena itu tidak akan membuatmu aman di kendaraan. Apalagi tempat duduk yang licin. Bagaimanapun Aku hanya menjaga keamanan saat melintasi jalan raya. Namun Fani hanya mengangguk dan memelukku sekali kemudian melepasnya. Aku melihat di kaca spion motor, memantulkan senyumnya dan sesekali menggigit bibir mungilnya.
Di warung kopi, Aku mencoba mengajak rapat yang sempat dibatalkan. Organisasi mahasiswa yang memang harus serius dibacarakan mengenai perkaderan. Lagi-lagi ditengah keseriusanku memimpin rapat, tatapan Fani menghilangkan konsentrasiku. Anak-anak semua diam menunggu apa yang akan Aku katakan. Sementara pokok pembahasan sudah mulai hilang satu persatu.
"Betapa cantiknya kau hari ini?" Kataku yang membuyarkan konsentrasi teman-teman  di rapat dan warung kopi mulai ramai seketika
Ah, betapa malunya mengatakan itu di depan Fani, rapat pun sudah mulai tidak serius. Aku dan Fani menjadi bahan ejekan dan lelucon hari ini. Sampai Fani tahu, bahwa teman-teman selalu membicarakan Aku dan Fani saat di warung kopi, dan tak lama kami bersenda gurau, tiba-tiba handphone Fani berdering, kemudian meminta izin untuk pulang terlebih dahulu.
Ternyata, ia dijemput oleh laki-laki yang sempat bertemu di Rumah Sakit itu. Tak tahu mereka pergi kemana, yang pasti Fani masih tidak bisa melupakan laki-laki itu. Atau jangan-jangan mereka sudah saling mencintai.
"Ya, kau diam-diam mencintainya, Fani"
Kali ini Aku sudah bisa menyimpulkan semuanya tentang perempuan itu. Perempuan yang selalu memperlakukanku dengan baik dan secara diam-diam kau telah merebahkan cintamu padanya. Barangkali kau masih menyisakan duri-duri padaku untuk sesekali merasakan betapa tikamnya perjalanan menjemputmu atau barangkali kau ingin memberiku wadah untuk menampung segala hujan dimataku.
Betapa hari yang malang melintang di sepanjang jalan, sepanjang harapan. Adakah yang masih bersembunyi di balik jalan ini dan adakah arah menuju pulang paling terang. Bagiku, perjalanan adalah menjemput kehilangan dan disini, masih terbentang arah simbol-simbol di simpang jalan untuk menunjukkan pada alamat risau.
Sungguh malangnya nasib seorang ojek mengantarkan pada hal-hal yang tak pasti. Padahal, motor ini sudah Aku rawat sedemikian rupa, untuk mengantarmu mengelilingi kenangan. Sekarang, kau sudah tidak akan lagi bisa membawa perempuan berkacamata puisi itu ke jalan sisir kota Malang.
***
Seperti biasa, di sungai Kalimetro, Aku menenangkan diri bersama suara-suara air yang bergemercikan pada batu-batu ingatan. Kemudian mengumbah motor kesayanganku untuk menghilangkan sisa-sisa senyum di kaca spion. Membersihkan segala luka dan duka pada sekujur tubuh ini.
Pada keheningan yang semakin tajam, ku lihat perempuan berparas cantik itu mandi di balik batu. Dengan sampir yang hampir terlepas, ia memandangku dengan senyum manjanya. "Fani, kau kah itu?" teriakku sambil berlarian menuju balik batu. Ku lihat kembali perlahan mengintipnya, siapa tahu ia melepaskan sampirnya, dan ternyata hampar hening kelompang menderaskan sunyi di pedalaman. Itu hanya halusinasiku yang cukup baik untuk mengingat-ingatnya.
 
*Penulis adalah santri alumni PP.Nurul Jadid dan aktif di komunitas sastra titik koma

Comments

Popular Posts